On FB

Di kelas

anak-anak sedang belajar di kelas

This is default Rehat Sejenak slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 30 Desember 2015

Lomba FLS2N 2014/2015










SAHABAT



Karya: Amanda A.F (SMP Islam Al Abidin)
Dimana akan kucari
Aku sendiri seorang diri
Tanpa ada yang menemani
Aku terdiam tanpa ada sepatah katapun yang keluar

Di saat hari ini datang
Aku menemukanmu
Dengan wajah yang gembira
Kita bermain bersama

Kau sahabatku
Aku menantikanmu dari hari ke hari
Dan sekarang di tempatku berdiri tegak ada dirimu
Yang selalu menyambutku

Sahabat…andai kita bisa
Bersama selalu
Aku akan membahagiakanmu
Aku akan menemanimu
Kau sahabatku

Pesona





Pesona-MU
Karya: Diandra Az Zahra (SMP Islam Al Abidin)
Dinginnya  embun pagi menyentuh kulitku
Desau dedaunan berbisik di telingaku
Semburat warna merah keemasan di ufuk timur
Kusaksikan indahnya lukisan-Mu di langit pagi

Damai pagi yang kurasakan
Menghilangkan segala kegundahanku
Kicauan burung di pepohonan menambah kesyahduan
Begitu syahdu dan damai
Aku makin terpesona akan Dirimu
Terpesona akan luasnya ciptaan-Mu
Sujud syukur atas semua karunia-Mu
Untuk semua anugerah yang tlah Kau berikan untukku




Kisahku

Karya: Fadhila Firdasy F (SMP Islam Al Abidin) Pagi ini, suasana kota sedikit tidak bersahabat, awan mendung sudah sedari tadi menyelimuti kotaku, menyembunyikan sinar matahari yang biasanya menemaniku untuk menghabiskan hari – hari bersama. Masih dengan perasaan dan kondisi yang sama dengan sebelumnya, aku melangkahkan kakiku ke sebuah gedung yang bisa kubilang cukup megah, yang sekarang ini berada tepat di hadapanku. Ya! Sekolahku, sekolah ini adalah bangunan yang sangat bersejarah bagiku, banyak sekali kenangan yang melibatkanku dan seseorang yang amat berarti bagiku. Teringat ketika pertama kali aku menginjakkan kakiku di sekolah ini bersama ibu dan kakak perempuanku. Kami bergandengan tangan dan tertawa bahagia kala itu. Aku sempat melirik wajah ibu yang masih terlihat muda, dengan lesung pipit di pipi sebelah kanannya, ia meyakinkanku untuk tetap pergi di hari pertama masuk setelah lulus jenjang sebelumnya. Tanpa, kusadari aku berdiri cukup lama di depan sekolah, dengan sedikit terkejut aku segera berlari begitu melihat gerbang sudah hampir tertutup dengan sempurna. Aku berusaha menormalkan nafasku yang masih terengah – engah akibat berlari tadi. Kini, aku berjalan seorang diri di lorong sekolah menuju sebuah ruang kelas yang terletak di ujung lorong. Terlihat teman – temanku melirik sinis ke arahku saat sosokku berdiri di tengah – tengah pintu kelas. Tak jarang mereka saling berbisik saat aku berjalan ke arah sudut kelas. Tempat ini adalah tempat favoritku, di ujung ruangan, tanpa ada seorang pun teman. Tidak ada obrolan menarik yang melibatkanku selama sosokku masih terlihat aneh dimata mereka. Ingin sekali aku bergabung dengan mereka, bergosip tentang masalah ini dan itu, berbelanja sepulang sekolah, belajar bersama untuk mengisi hari liburku yang membosankan, dan hal – hal lain yang biasa anak perempuan lakukan. Tapi untuk apa aku terlalu berharap untuk melakukan hal – hal yang sudah sangat jelas tidak akan pernah terjadi. Hari ini, sekolahku terasa sangat membosankan, hingga siang tiba hujan tak kunjung reda, sialnya aku tidak membawa jas hujan ataupun payung. Bukannya lupa, tapi aku tidak terpikir hujan akan turun selama ini. Sebegitu bosannya, tatapan mataku lebih banyak terfokus pada pemandangan kota yang kulihat dari jendela kelas dari pada terfokus pada pelajaran Bahasa Indonesia yang kupikir tak kunjung berakhir. Telingaku pun lebih banyak terfokus pada suara rintik hujan dari pada ocehan teman – teman yang memprotes akibat adanya rencana ujian mendadak siang ini. Aku terkejut ketika pandangan mataku terarah pada sebuah cahaya terang yang muncul di tengah – tengah hujan. Cahaya itu lambat laun membentuk wujud seorang manusia. Ia seolah – olah tersenyum dan melambaikan tangan kepadaku. Sesegera mungkin aku mengedipkan mataku, mencoba untuk membenarkan penglihatanku sebelumnya. Ternyata awan yang kulihat sebelumnya itu hanya halusinasiku saja. Mungkin kali ini aku benar – benar merasa kesepian. Ingin sekali aku menuangkan segala permasalahanku.Walaupun hanya 1 orang, kurasa itu tidak mungkin. BUK! Sebuah buku berukuran lumayan besar terlempar tepat di punggungku yang membuatku tersadar dari lamunanku. Aku mencoba mengambil buku itu, sampulnya terlihat sudah sedikit usang, halamannya pun sudah tidak beraturan, aku mencoba membersihkan sesuatu yang menutupi judul buku tersebut, entah apa, sebelum aku berhasil membacanya, teriakan seseorang segera mengembalikan pikiranku. “Hei! Gadis di sebelah sana! Kembalikan buku itu!”, teryata suara teriakan itu berasal dari seorang anak laki – laki yang kudengar adalah murid paling pandai di angkatan kami. Aku hanya mengambil buku itu dan meletakkannya di atas mejaku, membiarkan anak laki – laki itu agar mengambilnya kemari. Sepertinya ia terlihat kesal dengan tingkahku, matanya menyipit sambil berjalan ke arahku, ku rasa ia akan mengambil buku itu. Ternyata benar, ia mengambil buku itu dan berlalu begitu saja. Entah sejak kapan jam Bahasa Indonesia berakhir, ternyata aku memang melamun sejak tadi. Aku bergegas pulang ke rumah saat jam belajar di sekolah telah berakhir, aku melangkahkan kakiku di setiap ruas jalan kota yang tergenang oleh air hujan. Banyak sekali orang – orang yang berlalu lalang di sekitarku dengan jas hujan dan payung yang beragam, sepertinya jalanan kota terlihat lebih menarik dari biasanya. Aku menikmati udara segar kota sore ini, langkah kakiku sedikit kuperlambat agar aku bisa berlama – lama berada di jalanan kota. Langit sore kali ini terlihat sangat indah dengan perpaduan warna orange dan ungu. Sejenak aku melupakan permasalahan yang sedang melilit hidupku. Untuk beberapa saat aku memang sengaja untuk tidak memikirkannya dahulu. * Kreeeekk.... Aku membuka pintu kamar ibu yang sudah menimbulkan decitan kecil saat membuka atau menutupnya, kutemukan sosok ibuku yang terbaring lemah di atas sebuah tempat tidur yang berukuran tidak terlalu besar. Dengan sebuah selimut tebal yang menutup sempurna tubuhnya, aku mencoba menghampirnya. Ingin aku menyadarkan ibu dari tidurnya, namun rasa tak tega mengurungkan niat awalku. Aku hanya memandang sosok ibu dengan iba, aku termenung di tepi tempat tidur yang ia gunakan. Aku kembali beranjak dari tempat tidur ibu, langkah kakiku mengarah pada sebuah dapur kecil milik kami. Tanganku meraih sebuah teko kecil berwarna putih, aku mengisinya penuh dengan air , sesegera mungkin kumasak air di dalam teko itu untuk membuat minuman hangat untuk ibu. Kondisi ibu memang semakin menurun sejak ibu memutuskan untuk bekerja. Aku tidak pernah mengizinkan ibu untuk bekerja. Aku mengerti betul kondisi fisik ibu, ibu tidak biasa bekerja dan terlalu lelah. Bahkan, jika ayah masih tinggal bersama kami, aku yakin ia tidak akan pernah mengizinkan ibu untuk bekerja selain pekerjaan rumah. Namun, karena ibu terus merajuk pada ayah, dengan sangat terpaksa ayah mengizinkan ibu untuk bekerja. Hampi 2th ayah pergi bekerja keluar provinsi dengan jarak yang amat sangat jauh dengan kami hanya untuk menjalankan tugasnya sebagai kepala rumah tangga. Walaupun begitu kontak kami masih berjalan lancar. Ya! Semenjak perusahaan milik ayah mengalami kebangkrutan, keluarga kami dituntut untuk tinggal terpisah hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Miris, jika aku mengingat kejadian yang menyebabkan perusahaan milik ayah bangkrut, hanya karena sebuah permasalahan yang berawal sepele, kami harus menanggung semuanya bersama, berbagi sedikit beban di pundak kami masing – masing. Meninggalnya Mi, kakak perempuanku saat insiden penembakan oleh orang kepercayaan ayah di perusahaan miliknya, menyebabkan nama baik keluarga kami mau tak mau harus tercoreng begitu saja. Munculnya berbagai tanggapan negatif dari orang – orang menyebabkan kehidupan kami harus berubah. Tanpa sadar, air yang ku masak beberapa waktu yang lalu sudah mengeluarkan uap, pertanda jika air itu sudah matang. Aku segera menuangkan air itu ke dalam gelas yang telah ku persiapakan sebelumnya, bersama dengan makanan yang sempat kubeli di sebuah rumah makan tadi, aku membawanya secara perlahan ke arah kamar ibu. Aku menatap ibu sejenak saat pandangan mataku telah menemukan sosoknya, dengan sangat berhati – hati aku berjalan masuk kedalam kamar ibu. Kuletakkan nampan yang kubawa di sebuah meja kecil di tepi tempat tidur ibu. Aku tersenyum memandang sosok ibu, wajah ibu masih terlihat sedikit pucat, namun kupikir tidak akan lama lagi ibu akan kembali pulih, tapi tetap saja ibu belum sepenuhnya sehat. Aku mencoba mengawali pembicaraan kami dengan sebuah senyuman kecil. “Ibu.. bagaiman kondisi ibu sekarang ini? Apa ibu sudah merasa sedikit baik?”, aku mencoba menjaga nada suaraku agar terdengar lembut oleh ibu. “Lin, kau jangan khawatirkan ibu, ibu sudah merasa lebih baik. Ibu hanya terlalu lelah karena seminggu ini tugas ibu sangat banyak yang harus di selesaikan. Ngomong – ngomong, bagaimana dengan sekolahmu sayang?”, ibu mencoba bertanya kepadaku. Tangan ibu memebelai lembut rambutku. Aku mengerti jika ibu hanya memaksakan senyumnya, ia hanya berusaha agar aku tidak mengkhawatirkan kondisinya. “Sekolahku... berjalan seperti biasanya”, aku mengalihkan pandanganku kesekitar kamar ibu, mencoba memberi pertanda jika sekolahku tidak berjalan cukup baik. Ibu memang sangat mengerti kondisiku, semenjak insiden itu hampir seluruh teman – temanku atau bahkan seluruh teman – temanku menjauhiku. Mungkin orang tua mereka sangat membatasi mereka untuk melakukan kontak denganku. Aku memaklumi semua itu, bahkan jika dipikir ulang, memang inilah yang terbaik untukku. Tidak ada yang bisa di permasalahkan kembali. Aku berpikir untuk menjalani apa pun yang terjadi padaku agar tidak menambah beban ibu. “Sayang,”, ibu mencoba menegurku. “Umm.. ya..?”, aku terkejut dan menoleh sembari memaksakan senyumku kepada ibu. Ibu yang mengetahuinya hanya terkikik melihat tingkahku. Aku sedikit lebih lega ketika ibu kembali tersenyum. “Ibu, minumlah sembari masih hangat”, aku mencoba menawarkan teh yang sengaja kubuat untuk ibu. Dengan perlahan aku menyodorkan secangkir teh itu kepada ibu. “Apa kau sengaja menyiapkan semua ini untuk ibu? Sejak kapan kau pintar memasak? Setahu ibu putri ibu tersayang ini sangat anti dengan pekerjaan rumah..”, kali ini ibu menggodaku. Aku yang mendengarnya hanya tersipu malu. “Hmmm... sejak aku tertarik untuk bekutat dengan dapur ibu”, aku mencoba menjawab perkataan ibu dengan candaan. Ibu hanya tertawa melihat tingkah konyolku. Kali ini aku benar – benar merasa baik begitu melihat ibu kembali seperti semula. Sore ini aku bercerita banyak hal yang sudah lama ingin ku ceritakan pada ibu. Kami mengisi waktu luang bersama seperti yang pernah kami lakukan dulu bersama ayah dan Mi. “Baiklah sayang, sepertinya kau harus segera mandi dan beristirahatlah, ibu tahu kau sangat lelah hari ini”, ibu mengakhiri kebersamaan kami sore ini. Aku hanya mengangguk perlahan, mengiyakan perintah ibu. “Baiklah, aku akan segera mandi. Jika kondisi ibu semakin membaik, bolehkah aku meminta sesuatu dari ibu?”, aku mencoba kembali berbicara sebelum aku benar – benar keluar dari kamar ibu. “Tentu, katakan saja apa yang ingin kau katakan sayang”, ibu mencoba berdiri dari tempat ia tidur beberapa waktu yang lalu. “Aku ingin ibu memasak untukku sore ini, perutku sudah sangat lapar”, aku menjawab perkataan ibu. “Pasti sayang, sekarang segera pergi mandi dan ibu akan memasak untukmu!”,”Baik”. Aku tersenyum dan mengacungkan jempolku ke arah ibu. Langkah kakiku berjalan ke arah kamar mandi. Dalam hati aku sangat menyesali kepergian ayah dan Mi. Aku berpikir jika mereka ber – 2 ada di sini bersamaku dan ibu, aku yakin kondisi ini akan bertambah menjadi lebih baik. * Kriiing... Kriiing.... jam weker milik ibu berdering hingga terdengar sampai kamarku. Ibu sudah biasa bangun sepagi ini meskipun hari itu adalah hari dimana seharusnya ia tidak pergi bekerja. Hari ini adalah hari libur terakhirku sebelum ujian kenaikan kelas di adakan. Tepat 3 hari yang lalu, ayah menelphone kami, ia memberi tahu jika perusahaan tempat ia bekerja menawarkan posisi yang lebih tinggi karena mereka sangat membutuhkan ide - ide yang muncul dari ayah. Begitu mendengar berita tersebut, ibu sangat terharu, bahkan ia sempat bersujud mengucap syukur atas apa yang keluarga kami dapat. Ibu memang wanita yang sangat berbakti kepada ayah. Aku pun sempat menitikkan air mata begitu mendengar berita tersebut. “Sayang! Apa kau ada di dalam sana?”, terdengar suara ibu mencoba membangunkanku. Ibu sering mengajakku untuk melaksanakan shalat malam bersama. Bagi ibu, cobaan yang di terima oleh keluarga kami adalah peringatan dari tuhan agar kami tidak melupakan pertolongannya. “Iya bu, Lin akan segera menyusul ibu, ibu bisa menunggu di luar”, aku hanya menjawab perkataan ibu dengan lesu. Dengan mata yang belum terbuka dengan sempurna, aku mencoba mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat bersama ibu. Aku terbangun ketika ibu kembali membangunkanku dan mengingatkan untuk segera melaksanakan shalat shubuh, tak lupa ibu berpesan jika ia akan pergi menemui janji dengan temannya selepas adzan shubuh. Aku hanya mengiyakan perkataan ibu dengan anggukan kecil dan sebuah senyuman. Pagi ini pukul 6 tepat, aku memutuskan untuk berolahraga pagi. Sangat jarang bagiku untuk berolahraga jika bukan kemauanku sendiri. Seperti yang ibu katakan, ia akan pergi menemui janji dengan temannya selepas adzan shubuh. Aku mengunci pintu rumah dan meninggalkannya untuk berolahraga. Mungkin berlari – lari kecil sudah cukup mengisi waktuku pagi ini. Saat berada tepat di tengah perjalanan, aku sempat bertemu dengan teman – temanku, namun, kupikir apa gunanya menyapa mereka. Aku tidak yakin jika mereka akan menyapaku kembali. Aku hanya membiarkan mereka berlalu begitu saja. Nafasku masih terengah – engah sesampainya di rumah. Aku tidak merasa aneh dengan pintu rumah yang sudah terbuka, aku berpikir ibu sudah pulang setelah menyelesaikan janjinya dengan teman yang bekerja 1 kantor dengannya. “Ibu....!! Lin pulang...!”, aku berteriak, mencoba memastikan keberadaan ibu. Beberapa waktu tidak ada jawaban dari ibu. Namun, kemudian aku mendengar ibu beteriak mencoba membalas perkataanku. “Ibu ada di dapur sayang! Bisakah kau kemari sebentar?”, ibu berteriak dari arah dapur. Tanpa menwab perkataan ibu, aku bergegas pergi ke arah dapur seperti yang ibu perintahkan. “I...,”, perkataanku tercekat di tenggorokan begitu aku sampai di dapur. Aku melihat sosok yang sangat amat membuatku terkejut saat ini. Sosok yang begitu kurindukan. Pagi ini Ayah kembali ke kota kecil kami untuk menemui kami. Ini benar – benar sangat diluar dugaanku. “Apa yang kau lakukan sayang?”, ibu menengok ke arahku dan menyunggingkan senyum manisnya kepadaku dan juga ayah. “Ayah kembali untukku?”, aku mencoba mengawali pembicaraan kami. Entah kenapa, aku merasa sangat gugup berbicara dengan ayah, kali ini ayah terlihat sangat berebeda dengan saat terakhir kalinya aku melihat ayah. Kantung mata berwarna hitam menghiasa ke-2 mata ayah. Wajah ayahpun juga terlihat lebih berkeriput, mungkin ayah sangat lelah mengurus pekerjaannya. Ayah tidak menjawab perkataanku, ia hanya tersenyum kepadaku. Aku berlari ke arah ayah dan segera memeluknya. Aku berusaha melepas rinduku selama 2th terakhir ini. Pagi ini aku dan ayah bercerita banyak hal. Aku menceritakan semua yang kualami, tentang sekolah, ibu, teman – teman, semuanya. Ayah dengan sabar menyimak ceritaku. Tak jarang kami tertawa terbahak – bahak hingga ibu beberapa kali menggelengkan kepala. Di tengah – tengah canda tawa kami, aku yakin, ibu dan ayah pasti sangat merindukan Mi. Karena akupun juga sangat merindukannya. Aku yakin, Mi akan bahagia jika kami bahagia. Walaupun aku dan Mi terikat perbedaan dunia, aku yakin, di dalam hatiku yang sangat dalam aku masih menyimpan Mi untuk selama – lamanya. Aku sangat ingin mengatakan kepada Mi, bahwa ayah datang kemari untuk menemuiku dan untuk menemuimu Mi. Kami sangat mengharapkan kedatanganmu di tengah - tengah kami, aku ingin kau kembali mengisi posisimu di keluarga kita. Mi, jangan lupakan pesan ibu untuk selalu mengingat tuhan. Itu yang akan ku katakan untuk terakhir kalinya jika aku memiliki kesempatan untuk itu. Ibu dan kami semua menyayangimu Mi....